Rabu, 30 September 2020

Dopamine Detox Day 2

Hari kedua dopamine detox. Tadi pagi sempat merasakan hampa yang teramat sangat, karna harus puasa untuk pegang hape. Tapi semakin dilakukan semakin terbiasa. Setidaknya lebih fokus untuk melakukan hal-hal kecil yang jika dilewatkan akan membuat masalah, seperti melipat baju dan memasak. Jika sudah dikerjakan akan terasa lebih puas.

Selasa, 29 September 2020

Dopamin Detox Day 1

Hari ini adalah hari pertama aku melakukan dopamin detox. Setelah sekian lama dan bertahun-tahun berkutat dengan handphone dan alat elektronik lainnya. Ya.. aku akui, handphone adalah ujian terbesarku selama ini. Bangun tidur udah buka handphone, selesai sholat sudah buka handphone. Rasanya hidup ini ngga akan ada jika handphone tidak ada.
Setelah melalui berbagai fase kehidupan, barulah hari ini berpikir, ke mana saja aku selama ini? Dulu yang pas SD rasanya pinter banget, eh sekarang jadinya bego.
Dulu yang pas SD rasanya pinter banget, eh sekarang jadi pemalas.

Ya. Selama ini kita sudah dibanjiri dengan dopamin secara instan.
Biasanya orang mendapatkan dopamin dengan cara tidak instan. Belajar yang rajin, kemudian dapat nilai bagus. Pasti akan ada rasa puas setelah mendapat nilai bagus, dan barulah dopamin di otak terbentuk. Contoh lain, ketika kita mendapat sukses setelah berjuang susah payah, barulah dopamin terbentuk.

Tapi saat ini, kita sudah bisa mendapatkan dopamin dengan cara membuka handphone. Tinggal klik, dopamin sudah dapat, tinggal rebahan saja. Tau tau dan tidak sadar, kamu sudah meninggalkan mimpimu. Barulah kamu merasakan keterpurukan. Mau berjuang, tapi rasanya mudah capek.

Begitulah yang terjadi padaku. Beberapa bulan ini, hidup terasa jemu. Kaya tidak, terkenal tidak, sukses juga tidak. Rasanya seperti sibuk terus dengan pekerjaan. Setiap kali selesai dengan pekerjaan, rasanya ingin buka handphone, mencari kesenangan sesaat dengan membuka yo*t*be, in*ta**am, scroll komen, buka instast*ry, wa st*ry. Yang tadinya ingin hanya lima menit saja, selancar internet cari hiburan. Eh, tiba-tiba sudah lima jam. Tumpukan tugas belum selesai. Baru mau mengerjakan saja sudah mudah capek.

Kalau buka gadget untuk hal yang penting sih tidak apa. Contohnya seperti mencari informasi, menambah pengetahuan, menambah energi positif. Tapi ini banyak dilakukan untuk hal yang sia-sia.

Semoga dopamin detox ini lancar sampai minimal hari ke 100 😁😁😁

Jumat, 10 April 2020

Kosa Kata Jawa Baru


    Bagaimana jika kamu adalah orang Jawa, tinggal di Jawa, tapi suatu saat kamu mendengar kosa kata Jawa yang asing di telingamu?

     Tahun lalu, saya mengikuti program internsip selama setahun. Sebuah program dokter untuk mendapatkan surat ijin praktek. Kebetulan saya dapat wahana internsip di Bojonegoro. Saya asli Jember. Di tempat asal saya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, Jawa kasar campur Madura. Karena orang tua saya adalah orang Jawa, jadi sedikit sekali saya tahu tentang bahasa madura. Bahasa Jawa pun saya kurang begitu fasih, apalagi Jawa halus. Sedangkan di Bojonegoro bahasa yang dipakai benar2 bahasa Jawa tanpa campuran dengan madura. Bahasa sehari2nya pun sering menggunakan bahasa Jawa halus jika bercakap-cakap dengan yang lebih tua. 
     
        Nah, ini dia kosa kata yang belum pernah saya dengar dari saya kecil, padahal saya orang Jawa 😅. Beberapa kosa kata ada yang lumayan sering terdengar di percakapan orang tua maupun lirik lagu tapi saya sering lupa artinya:

Nembe: baru
Madang: makan
Wanci: waktu
Yoga: anak
Garwa: suami/istri
Lebet: dalem
Benter: panas
Utus: suruh
Dawuh: bilang
Asta: tangan
Ngasta: mbawa
Kengeng: kena
Ajre: takut
Mantuk: pulang
Mekan: hidup
Dugi: dateng
Mudeg
Mbejaji: sesuai
Njawi: luar
Gantosan: gantian
Benten : beda
Pirsani: liat 
Pelor: gotri 
Satru: ngambek 
Sederek: saudara 
Kantun: tinggal
Geting: benci 
Raos: rasa 
Rekasa: kuat 
Siyos: jadi 
Polok: tumit 
Mbet: becek
Nayoh: gampang 
Rakutan: pelukan
Boyak: blur
Kolo2: kadang2
Benten: beda
Ambeng: berkat
Reno-reno: macam2
Mbejani: diomongin
Wayoh: dimadu
Mblenjani: bohongi
Mudeg2: mual

Kamis, 09 April 2020

Sate dan Gule

SATE GULE

       Kedua makanan itu tidak pernah aku beli kalau bukan karna ada papa. Dua makanan kesukaan yang sangat enak jika disajikan secara benar, menurut seleraku sendiri. Selamat datang di "My Picky Eater Experience". 

       Saat masih internsip di bojonegoro tahun lalu, tidak pernah sekalipun aku beli gule kambing. Begitu pun sate, hanya sekali aku membelinya. Padahal itu semua makanan kesukaanku. Aku hanya suka kalau sate gulenya bikin sendiri. Sate buatan mama pasti tanpa gajih. Yak tanpa gajih. Aku tidak suka gajih semenjak kecil. Padahal gajih sangat disukai banyak orang. Apa yang membuat pelanggan mampir ke warung sate? 

      Karena aromanya yang menggoda. Aroma nikmat itu berasal dari gajih yang dibakar bersama daging ayam/kambing yang ditusuk. Kenapa aku tidak suka gajih?

        Berawal dari aku yang saat kecil dulu, tidak sengaja makan bagian zonk dari ayam goreng. Bukan daging yang saya makan, tapi penghubung antara daging dan tulang. Istilahnya tendon. Tekturnya sangat lembek, kenyal dan seperti lendir. Warnanya kadang putih atau bening. Kalau saya bilang sehari2 itu otot. Padahal kalau bahasa medis otot=muscle=daging.  Strukturnya yang kenyal pada saat masuk ke tenggorokan mengundang perasaan ingin muntah. Dan akhirnyaa.. yak muntahh. Semua makanan yang masuk sebelumnya ikut keluar. Ku berpikir, apa cuma aku saja ya yang seperti itu?

      Mama, papa, kakakku sepertinya tidak ada masalah dengan itu. Tidak seperti aku yang tak sengaja makan gajih dan memuntahkannya. Sejak saat itu makanan lain yang teksturnya kenyal seperti gajih, cingur, kikil, aku tak suka. 

         Kalau papa yang beliin sate, pasti bilang ke penjualnya untuk menghidangkan daging saja yang ditusuk tanpa ada gajih. Begitu juga gule pasti akan diambilkan mayoritas daging, atau tulang yang dibalut daging. Kalau tidak ada papa, pasti dihidangkannya berupa gajih dan jeroan.

       Saat kuliah, aku pernah diajak teman ke tempat sate terkenal di Jember. Setelah sampai, aku melihat banyak foto orang terkenal yang pernah makan di situ, salah satunya adalah Bupati Jember saat itu. Seharusnya sih makanannya enak. Aku pesen satu porsi nasi, gule kambing beserta sate kambing. 

      Saat makanan dihidangkan, wah keliatannya memang enak dan menggugah selera. Pada saat kulihat gulenya, mangkuknya terlihat penuh dengan tulang dan gajih. Saat kusruput kuahnya, wah enak.. sedap.. setelah kucari dagingnya di antara tulang dan gajih, kudapati hanya sedikit dagingnya. Padahal favoritku adalah daging. Iya, aku suka daging yang menempel di dekat tulang. Rasanya pasti juicy dan nikmat. Tapi tidak kudapatkan di sini. Akhirnya aku hanya makan nasi dan kuahnya beserta sate kambingnya. Satenya pun tidak kumakan semua. Karna dalam 1 tusuk ada gajih di tengahnya. Sebenarnya gajih itu menambah aroma saat dibakar. Aromanya mengundang pengunjung untuk datang. Tapi tidak untuk dimakan menurutku.

      Kini kalau mama yang masak sate gule, sate dan gule yang dibuat benar2 seleraku. Satenya daging semua tanpa gajih dan gulenya benar2 mayoritas daging yang membalut tulang. Satu lagi, tanpa jeroan.. hmm yummy..